Opini : Septa Herian Palga

Inforial.co – Gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan salah satu momentum rakyat dalam menyongsong masa depan. Baik dalam sektor pembangunan daerah, ataupun kesejahteraan masyarakat. Melalui kontestasi pilkada, rakyat berharap sosok yang nantinya terpilih dapat melahirkan kebijakan yang sesuai dengan keinginan mereka.

Di tahun 2020, ada 270 daerah di Indonesia bakal menggelar pilkada  serentak. Dengan rincian; 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Untuk di Provinsi Lampung sendiri, ada dua kota yakni Bandar Lampung dan Metro, serta enam kabupaten yakni Lampung Selatan (Lamsel), Lampung Timur (Lamtim), Lampung Tengah (Lamteng), Way Kanan, Pesawaran dan Pesisir Barat.

Saat ini para calon dimasing-masing daerah tengah sibuk berebut rekomendasi partai politik (parpol). Sembari itu, beberapa calon juga mensosialisasikan program dan pencalonan mereka melalui beberapa alat peraga atau dalam bentuk lain.

Bicara Pilkada. Tidak asyik jika hanya memantau proses serta tahapan pemilihannya saja. Ada yang lebih menarik. Yakni menyoroti kepercayaan masyarakat terhadap kandidat calon kepala daerah dimasing-masing daerah.

Daerah yang saat ini tengah dilanda konflik sosial, jauh lebih menarik dibahas dibandingkan dengan daerah lain. Sebab, di daerah tersebut terdapat kelompok yang tengah krisis kepercayaan terhadap kepala daerahnya. Dan bisa jadi dampak tersebut meluas kepada calon yang memiliki keterkaitan dengan sosok kepala daerah tersebut.

Salah satu daerah yang saat ini tengah dilanda masalah konflik sosial ialah warga masyarakat di tanah Way Dadi, Sukarame, Bandar Lampung. Warga masyarakat Way Dadi menganggap bahwa mereka hanya dimanfaatkan sebagai objek politik dalam kontestasi pilkada. Setelah calon yang mereka dukung berhasil duduk, warga masyarakat Way Dadi justru seperti target utama yang harus dilumpuhkan pemerintah.

Upaya pelumpuhan yang dilakukan pemerintah tidak lain bertujuan untuk memanfaatkan lahan Way Dadi. Ya, dari tanah seluas 1000 hektare (Ha) bekas PT Way Halim itu, ada 300 ha yang masih bisa diolah pemerintah. Namun, pemerintah tidak mudah menguasai lahan Way Dadi. Selain karena telah dikuasai setidaknya oleh 25.000 warga masyarakat, kedudukan tanah Way Dadi juga sudah status quo.

Meski begitu, pesona Way Dadi seperti “Harta Karun” mengingat titik lokasinya yang berada tepat di tengah kota dan memiliki potensi besar jika pemerintah mampu menguasainya. Bukan hanya sebagai target proyek, Way Dadi juga sangat manis untuk diperdagangkan kepada investor asing sebagai lahan bisnis pemerintah. Salah satu buktinya ialah dengan telah diterbitkannya sertifikat HGB Hutan Kota seluas sembilan sampai 11 hektare. Diam-diam pemerintah telah menerbitkan sertifikat HGB Hutan Kota ke pihak PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB) tertanggal 14 Agustus 2018 lalu.

Selain itu, proyek pembangunan stadion mini di lapangan Way Dadi. Dalam pembangunannya, selain membangun sarana olahraga juga terdapat pembangunan kios (tempat usaha) di lokasi proyek stadion mini. Warga masyarakat melihat ada keuntungan yang diperoleh oknum pemerintah dalam penerbitan HGB Hutan Kota dan proyek pembangunan stadion mini.

Kondisi yang terjadi di Way Dadi hari ini, menjadi gambaran jika masyarakat setempat hanya dijadikan sebagai objek politik. Tidak lebih. Setelah kepentingan politik mereka tercapai, yang terjadi justru pemerintah merampas fasilitas umum dan fasilitas sosial warga masyarakat Way Dadi. Mirisnya, pemimpin yang sedang duduk hari ini adalah calon yang dulu mendapatkan dukungan penuh dari warga masyarakat Way Dadi ketika kembali mencalonkan diri pada pilkada 2016 lalu.

Selain pencaplokan fasum-fasos, status quo tanah Way Dadi juga terus-menerus digoyang pemerintah. Padahal dalam kesimpulan rapat di Kantor Kementerian Dalam Negeri pada Selasa, 12 Februari 2019 lalu, telah ditetapkan bila pemerintah ingin menguasai lahan Way Dadi, kedua pihak (pemerintah dan warga masyarakat) mesti melewati proses peradilan atau menunggu adanya pembatalan dari Kementerian ATR/BPN karena adanya cacat hukum administrasi berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.

Sambil menunggu proses penyelesaian selesai, Kemendagri mengimbau kepada pemda untuk tidak melakukan kegiatan apapun di atas tanah tersebut (status quo). Imbauan itu dituangkan secara tertulis dalam kesimpulan rapat yang disetujui beberapa pihak seperti; Endro Suswantoro Yahman (Anggota Komisi II DPR RI), Supardy Marbun (Kementerian ATR/BPN), Hamartoni Ahadis (Sekdaprov Lampung), Armin Hadi (Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Tanah/Pokmas ST-2) dan Eko Subowo (Direktur Jenderal Bina Adimistrasi Kewilayahan).

Namun sayang. Ketika baru dilantik, kepala daerah itu justru mengeluarkan pernyataan melalui media massa jika warga masyarakat ingin menduduki tanah Way Dadi mereka mesti membayar Rp550 ribu/meter sebagai kompensasi terhadap pemerintah daerah. Padahal perlu diingat, seluruh warga masyarakat yang saat ini menduduki di lahan Way Dadi, juga tidak ada satupun yang memperoleh tanah dengan cara merampas atau mencaplok. Semua membeli kepada petani penggarap yang berlandaskan SK Mendagri tahun 1980.

Yang lebih menyakitkan warga masyarakat Way Dadi, wacana Rp550 ribu/permeter dengan dalih kompensasi kepada pemerintah itu, tercetus di masa pemimpin yang dulu meminta dukungan langsung dari tokoh warga masyarakat Way Dadi. Ketika meminta dukungan dulu, kepala daerah itu berjanji akan menyelesaikan persoalan status lahan Way Dadi.

Bahkan bukan hanya itu. Setelah menang pilkada, kepala daerah itu juga kembali menyambangi tokoh Way Dadi untuk mendukung anaknya yang baru lalus dari universitas tersohor di Jawa untuk maju sebagai anggota legislatif. Karena tidak ada yang mengenalnya, anak itu dimajukan sang ayah di dapil Way Dadi,  dengan bekal dukungan warga masyarakat melalui tokoh Way Dadi.

Alhasil, anak kepala daerah itu kini menjadi anggota legislatif dengan perolehan suara terbanyak dari warga masyarakat di tanah Way Dadi. Namun setelah semua kepentingan politik mereka tercapai, tidak ada satupun yang membuktikan janjinya terhadap Way Dadi.

Saat ini warga masyarakat Way Dadi kembali dihadapkan dengan Pilkada serentak 2020. Mereka mulai kembali melirik siapa sosok pemimpin yang tidak berkhianat terhadap Way Dadi. Dari kisah ini, kita semua mesti belajar agar ketika momentum pilkada kita semua tidak hanya dijadikan sebagai objek politik. Seluruh warga masyarakat yang memiliki hak pilih diharapkan memahami visi misi serta latar belakang setiap sosok yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Semoga yang menjadi kepala daerah nanti mampu memberikan perubahan baik dari sektor pembangunan ataupun kesejahteraan masyarakat. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *